Dewasa ini, terkait pembangunan kebudayaan, teringat dengan pandangan Sutan Takdir Alisjahbana[1] yakini, yakin intelektualisme relevan dengan kehidupan sekarang yang dihela sains dan teknologi. Oleh karena itu, pendidikan harus terus menggelorakan intelektual.
Sebuah catatan singkat untuk refleksi diri, bicara
pendidikan, kebudayaan, dan Indonesia yang rumpang di dunia intelektual. Di
bulan baik ini, kami beberapa bulan lalu merayakan ulang
tahun ke-78 RI, di tahun 2023 dengan tagline “Terus Melaju untuk Indonesia
Maju”—yang kurang lebih tagline tersebut dapat membentuk kesadaran merata pada
tubuh dan jiwa masyarakat Indonesia. Terkhusus untuk saya sebagai tenaga
pengajar yang masih jauh dari kata: berkontribusi, memberi, dan memperbaiki
negeri ini secara benar.
[2]Di Barat, mereka sedang memasak nasi
yang sudah hampir matang, jadi wajar mereka khawatir nasinya akan hangus jika
api tak dikecilkan. Namun, STA mengatakan, kwatir ini terlalu dini bagi
Indonesia karena apinya saja belum menyala. Maka, janganlah mengkwatirkan
dominasi intelektualisme mana kala nyala intelektualisme itu sendiri belum
terpantik di kehidupan masyarakat. Di Dirgahayu HUT ke-78 RI ini, setelah
membaca opini di koran Kompas dengan judul "Memahami Takdir" (2022),
ditulis oleh Iwan Pranoto Guru Besar ITB, yang meminjam tulisan Sutan Takdir
Alisabhana (1930) tentang pendidikan.
Selaras dengan pandangan yang dipolekmekkan pada modernisasi
terdahulu itu. Di tanah kebanggaan Indonesia ini yang kalis, terdahulu sudah
mengalami gonjang-ganjing perspektif. Kalau pendidikan hingga kini masih seksi
jika dibahas, apalagi kita hanya kalangan intelektual yang masih belum punya
kekuatan mengakomodir perubahan secara revolusi. Namun, perlu bersyukur, karena
di antara kita masih ada daqi’ kesadaran di relung hati.
Adapun, perlu disadari melalui sudut pandang pemikiran,
pembicaran, dan melakukan sesuatu selaras dengan kebebasan atas kebaikan—yang
dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga terus menjadi agent dari jalan-jalan
kultural. Dengan kata lain, Bahasa sederhanya; dapat menjadi sumber liyan akan
kebaikan secara kultural. Hal ini selaras dengan pandangan Ki Hadjar Dewantara,
salah satu peran pendidikan afektif itu: keluarga, langgar, dan kelas
pendidikan.
Dasar tersebut akan termanifestasikan kepada realitas sosial
yang ada di dunia pendidikan, yang dasar-dasarnya apakah bisa kita sadari itu
bentuk intelekual dari Barat—yang masih kental dengan dikotomi kesadaran tidak
merata. Tentu dalam memahami pendidikan, kebudayaan, dan rumpang intelektual.
Dari fenomena di sekitar itu telah menyadari perlu secara baik tenaga
pendidikan menjadikan peserta didik lebih membuka dada, bukan malah menutup
diri.
Pertanyaannya adalah; apakah pendidikan kita ini
kebarat-baratan? Atau ke-timur-timuran? Lalu filosofi apa yang dapat dikaji
secara nalar oleh kita dalam memantapkan diri melawan kejanggalan arah
pendidikan kita—yang seolah-olah disposisi arah juang di dunia pendidikan.
Apakah kerumpangan pendidikan ini dapat menjadi rimpang, sesuai dengan esensi
dan eksistensi.
Darurat Pendidikan
Kita
Urgensi negera terletak pada pendidikan. Berbicara
pendidikan tentu tidak lepas dengan sebuah sudut pandang terhdap pendidikan
formal, non-formal, dan informal, yang begitu akrab dengan kita. Tentu, akrab
yang dimaksud kita memiliki kesadaran atas anggapan bahwa pendidikan itu
penting. Namun tidak dengan yang tersandra dengan pandangan pendidikan itu
buruk, tapi melepaskan dari pemahaman atas sistem. Lantas apakah urgensi negera
tersebut berkaitan dengan kurang baiknya sistem, atau ada oknum pemangku
kebijakan kurang bijak menerapkan dalam realitas, yang dampaknya masih asam dan
kadang tawar dirasakan masyarakat.
Sistem pendidikan di negara Indonesia bagi masyarakat secara
luas akan dirasa sudah baik. Bahkan dasar baik tersebut terletak pada sebuah
tokoh besar pendidikan kita, yang dapat dikatakan telah mencetuskan sistem
pendidikan sangat bagus. Hal ini telah menjadikan kita untuk terus menyangka,
jika pendidikan kita sudah masuk pada sebuah elmen sangat luas jika berkaitan
dengan sekarang. Karena secara filosofis yang telah dicetuskan oleh para
pendiri telah direduksi, bahkan ada yang kurangi.
Sistem dari masa ke masa memiliki kecenderungan
berbeda-beda. Ada dengan lantang pendiidkan terbaik terletak pada zaman Ki
Hadjar Dewantara, lantaran pada saat itu akses pendidikan masih terbatas.
Dengan bahasa lain, kaum terdidik masih ada dikotomi kuat terhadap pemerataan
dunia pendidikan. Jika bukan dari anak bangsawan atau berdarah Belanda atau
kata lain dalam perspektif orang Indonesia kolonialis, itu. Pendidikan taman
siswa bagi orang Indonesia sangat menjawab permasalahan pada saat itu. Yang mana,
masyarakat bisa mengenyam pendidikan masih rumpang. Rumpang di sini tidak
merata, sehingga masyarakat masa itu yang masih penuh dengan tantangan melewan
kolonialis untuk bisa mencapai satu harapan besar, yaitu belajar. Akan tetapi, permasalahan pada saat
itu bukan terletak pada sebuah mental belajar, melainkan tujuan pendidikan pada
saat itu terletak pada kesadaran kolektif merebut kemerdekaan dengan kemampuan
manusia nusantara yang utuh.
Kegamangan pendidikan pada saat itu terletak pada kesadaran
tidak merata. Bahwa masyarakat pribumi dalam kesadarannya untuk melakukan
perlawanan atas kolonial, masa itu. Tentu bagi yang merasa rugi dan sunyi dari
kemiskianan. Maka, salah satu cita-citanya itu, menggapai sebuah kemerdekaan
Hindia Belanda (sebutan kolonial). Hal tersebut dapat dikatakan; masyarakat
kesadarannya masih rumpang antara yang miskin dan yang kaya. Dengan karunia
Tuhan yang maha besar dan kuasa, tepat pada 17, Agustus 1945 Soekarno-Hatta
membacakan teks proklamasi, yang menjadi simbol dan mitos.
Pereodisasi Kurikulum
Indonesia
Kurikulum di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan
signifikan dari masa ke masa. Berikut adalah gambaran singkat tentang
perkembangan kurikulum di Indonesia sejak masa kemerdekaan hingga saat ini:
1. Kurikulum 1947:
Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, kurikulum pendidikan di
Indonesia masih sangat terbatas. Pada tahun 1947, pemerintah merilis kurikulum
sementara yang disebut "Kurikulum 1947". Kurikulum ini lebih
menekankan pendidikan nasional yang mencakup bahasa Indonesia dan Pancasila
sebagai nilai-nilai inti.
2. Kurikulum 1952:
Pada tahun 1952, pemerintah mengganti Kurikulum 1947 dengan
"Kurikulum 1952". Kurikulum ini memberikan penekanan yang lebih besar
pada pendidikan agama dan moral.
3. Kurikulum 1975:
Selama masa Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto,
pemerintah mengenalkan "Kurikulum 1975". Kurikulum ini memiliki fokus
yang kuat pada pembentukan karakter Pancasila dan ideologi nasional. Pendidikan
agama juga menjadi komponen penting dalam kurikulum ini.
4. Kurikulum 1984:
Pada tahun 1984, pemerintah mengganti Kurikulum 1975 dengan
"Kurikulum 1984". Kurikulum ini menekankan pembelajaran yang lebih
praktis dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri. Kurikulum ini
juga memperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) yang
menekankan ideologi Pancasila.
5. Kurikulum 1994:
Kurikulum 1994 diperkenalkan untuk menggantikan Kurikulum
1984. Kurikulum ini lebih mengutamakan pemahaman konsep daripada hafalan. Salah
satu fitur utama adalah pembelajaran tematik di tingkat sekolah dasar.
6. Kurikulum 2004 (KTSP):
Pada tahun 2004, pemerintah mengadopsi Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP memberikan lebih banyak otonomi kepada sekolah
dalam merancang dan melaksanakan kurikulum mereka. Ini bertujuan untuk
meningkatkan relevansi kurikulum dengan kondisi setempat.
7. Kurikulum 2013 (K-13):
Kurikulum 2013, juga dikenal sebagai K-13, diperkenalkan
untuk menggantikan KTSP. K-13 lebih menekankan pada pengembangan karakter,
keterampilan, dan pemahaman konsep. Ini menggabungkan pendekatan ilmiah dan
pendekatan kontekstual dalam pembelajaran.
8. Kurikulum Merdeka Belajar (2020):
Pemerintah Indonesia mengumumkan "Kurikulum Merdeka
Belajar" pada tahun 2020. Kurikulum ini bertujuan untuk memberikan lebih
banyak kebebasan kepada siswa dalam memilih mata pelajaran yang ingin mereka
pelajari, serta memberikan fleksibilitas dalam metode pembelajaran.
Kurikulum di Indonesia terus berkembang sejalan dengan
perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi. Tujuannya adalah untuk meningkatkan
relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan pasar kerja. Semua
perubahan ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
Kesadaran Intelektual
Merata Kunci
Kesadaran nasionalis ini tentu tidak dapat diragukan
kembali. Karena sudah semestinya sudah menerima dari masa kecil, di dunia
pendidikan tingkat dasar, salah satunya mencintai produk lokal selalu
disuarakan. Lalu dipupuk di setiap jenjang penpendidikan. Namun kadang tolok
ukur dari nasionalisme hanya terletak hanya pada pelafalan, bukan sebagai dasar
penting dalam hidup—yang menjadi sebuah kesadaran atas manusia Indonesia.
Dalam hal ini tentu berkaitan dengan system pendidikan.
Bahwa system pendidikan yang baik akan menentukan sebuah hasil yang baik, hasil
baik tersebut terkait dengan indikator pencapaiaan yang ditentukan oleh seorang
tenaga pendidik. Sebagaimana penilaian tersebut punya tolok ukur secara primer,
sekunder, dan bahkan tersier.
Tolok ukur tiga hal tersebut bisa dapat ditentukan oleh
pemerinta, lalu kesadaran guru bisa menerapkan dalam kehidupannya. Sehingga
dampak tersebut bisa dirasakan oleh peserta didik—yang sangat bisa dicapai dunia
pendidikan yang ideal sesuai dengan kebutuhan. Hal ini selaras dengan apa yang
Ki Hadjar Dewantara; jika kamu menanam jagung maka akan menuai jagung, jangan
sampai tidak. Adagium tersebut berkorelasi dengan dunia pendidikan kita yang
mengarah pada kemampuan manusia dapat diasah dan bisa ditemukan di dunia
pendidikan. Sehingga potensi dirinya bisa ditemukan.
Untuk mencapai ideal manusia ketika memilih menjadi seorang
terdidik, yang terbuka pikirannya, selalu menggali potensi diri, lalu memiliki
pengalaman atas hidup. Hal ini tentu terkait dengan tenaga pendidik yang baik
dan handal dalam mendidik, mengjarkan ilmu, dan juga bisa memberi hukuman
kepada peserta didik yang belum memiliki kesadaran belajar. Sehingga
tanggungjawab tenaga pendidik bahwa generasi bangsa akan menentukan peradapan
baiknya sebuah negara.
Tercapainya tenaga pendidik yang dapat bertanggungjawab atas
mengajar tentu menjadi tenaga pengajar profesional, perlu dimunculkan kesadaran
dari dirinya sendiri. Salah satu pemicu tentu berkaitan dengan kesejahteraan
tenaga pengajar. Agar bisa mencapai sebuah pendidikan yang berkualitas. Karena
semakin banyak beban administrasi tapi masih kurang ngopi, mengajar di kelas
hanya sekadar saja.
Budaya Literasi Hidupi
di Ruang-Ruang Kelas
Peran peradapan ini tidak lepas dari sebuah ruang akademik
yang dipengang oleh tenaga pendidik yang tepat. Hal ini tentu berkaitan erat
dengan sebuah kecakapan literasi seorang tenaga pendidik. Maka, tidak hanya
mengajar peserta didik, tapi juga memupuh jiwa dengan sebuah rekomendasi bacaan
sekurang-kurangnya, bisa diberikan kepada peserta didik. Karena dengan seperti itu
peserta didik, kognetif, afektif, dan psikomotorik tak hanya sekadar dapat
doktrin dari eksternal, melainkan lahir dari internal.
Di era sekarang teknologi berkembang. Sehingga pendidikan
tidak hanya menjadi sebuah kepentingan kebutuhan melepaskan dari budaya lama,
belajar untuk melepaskan diri dari kobodohan. Akan tetapi, teknologi salah satu
anak kandung dari modern ini. Pendidikan dijadikan jalan menggapai pekerjaan.
Bahkan buruknya lagi menjadi sebuah liberalisasi pendidikan. Sehingga
pendidikan semestinya menjadi salah satu usaha menyelesaikan masalah sendiri,
tapi terkadang tidak dapat menyelesaikannya. Hal ini menjadi jawaban kalau
pendidikan menjauhkan diri dari realitas sosial.
Kesadaran literasi yang dapat disuarakan kini ialah;
bagaimana setiap orang mampu menyadari akan kemampuan dirinya. Jika ini masih berada di
dunia pendidikan bagaimana peserta didik dapat memahami serta dengan sadar
memunculkan diri sebagai jiwa intelektual—yang dapat menjawab permasalahan di
sekitar, dan dapat menjadi obat sebuah problem.